Kamis, 15 Oktober 2015

Inflation


Pemikiran tentang inflasi yang paling banyak dipahami oleh kita semua bahwa inflasi adalah suatu fenomena moneter. Akan tetapi inflasi ternyata juga merupakan fenomena fiskal meskipun fenomena moneter masih lebih dominan (Hervino, 2011).
Studi empiris terkait tingkat inflasi (nominal wage inflation) dan penggangguran pertama kali dilakukan oleh A.W. Phillips (1958), dan kemudian diadopsi oleh Samuelson dan Sollow (1960) di Amerika dengan hasil yang cukup relevan (kurva phillips tradisional). Hubungan antara kedua variabel ini ternyata mampu pula menjelaskan kaitan antara price inflation dan cyclical indicator of output. Kemudian hal ini dikaji lebih mendalam oleh Phelps (1967), Friedman (1968) dan Lucas (1972) terkait hubungan trade-off diantara kedua variabel tersebut
. Dalam analisisnya, Friedman-Phelps menjelaskan bahwa sesungguhanya trade-off yang terjadi tidaklah permanen, hal ini dikarenakan lambannya ekspektasi para agen ekonomi untuk melihat realitas yang ada, dan para pengambil kebijakan cenderung untuk mempertahankan tingkat pengangguran dibawah tingkat alamiahnya sehingga hal tersebut akan meningkatkan tingkat inflasi, pendekatan ini dikenal dengan accelerationist hypothesis.
Kemudian dalam perkembangannya, analisis kurva phillips dalam jangka pendek mulai bergeser dan memunculkan model triangel. Model ini menjelaskan bahwa inflasi (dinamis) ini diturunkan dari tiga sumber, yaitu aktivitas ril (pengangguran), supply shocks, dan inertia (tingkat inflasi sebelumnya). Model ini menjadi sangat penting bagi kebijakan makroekonomi dan melahirkan konsep Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment atau lebih kenal dengan NAIRU.
Berikutnya Lucas dan Sargent (1972) memperkenalkan ekspektasi rasional yang dimasukan ke dalam pemodelan ekonomi, dan ini menjadi alternatif pemodelan dalam kerangka kerja kurva Phillips yang dikenal dengan nama model islands. Model ini menjelaskan bahwa dalam jangka pendek, trade-off inflasi dan output merupakan hasil dari adanya informasi yang asimetris (imperfect information) karena adanya price-setters. Model ini ternyata sejalan dengan pandangan kaum Keynesian baru (New Keynesian) dimana ini menjadi bagian dalam New Keynesian Macroeconomics. Dari sinilah muncul model kurva Phillips yang baru yang dikenal dengan New Keynesian Phillips Curve (NKPC).
Terdapat beberapa hal yang membedakan pandangan antara kurva phillips tradisonal dengan yang baru, yaitu (1) dalam kerangka kerja kurva phillips baru, perilaku penetapan harga adalah hasil dari suatu proses optimalisasi dari suatu perusahaan yang berada dalam pasar monopolistik ketika dihadapkan pada kendala dalam menyesuaikan tingkat harga; (2) pada pendekatan tradisional, diasumsikan bahwa para agen ekonomi adaptive expectations (backward-looking), sedangkan pada pendekatan baru (NKPC) adalah rational expectations (penomena foward-looking); dan (3) sebagai suatu hasil dari proses optimalisasi penentuan harga oleh perusahaan, maka indikator aktivitas ekonomi yang relevan dalam pendekatan NKPC diproksi dengan real marginal costs.
Sejak saat itulah banyak sekali penelitian-penelitian empiris yang terkait dengan inflasi dinamis (inflation dynamic) merujuk pada NKPC. NKPC ini pengembangan dari teori tradisional kurva phillips (Phillips curve) yang mana terdapat trade-off antara tingkat inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek dan akan inelastis sempurna (vertikal) dalam jangka panjang (Mankiw, 2008). NKPC ini diturunkan dari kerangka kerja optimisasi yang terkait dengan rational expectations dan nominal rigidities (Ruud and Whelan, 2005), sehingga NKPC menjelaskan bahwa inflasi itu memiliki dinamika forward-looking (Jondeau dan Bihan, 2005).
Validitas NKPC ini masih menjadi perdebatan, sehingga sampai dengan saat ini banyak studi empiris yang mencoba untuk mengkaji validitas NKPC ini di beberapa negara. Akhirnya muncullah model baru dari kurva Phillips yang dikenal dengan model hibrida dari NKPC
. Model ini selain memasukkan forward-looking (ciri khas NKPC) juga memasukkan lags of inflation yang tentunya tidak terdapat dalam model inflasi inti (core inflation). Model ini mencoba mengkombinasikan variabel forward-looking dengan beberapa lag variabel inflasi (backward-looking), dan juga bersama dengan variabel inflationary pressures (output gap). Model ini akhirnya dapat diterima secara umum dan semakin banyak diaplikasikan dalam analisis kebijakan moneter.
Studi empiris dengan menggunakan model hibrida ini terbagi menjadi dua sisi. Pertama, penelitian yang menjelaskan bahwa variabel forward-looking dalam inflasi tidaklah penting, ini dilakukan oleh Fuhrer (1997), Robert (2001), Estrella dan Fuhrer (2002), dan Soderlind dkk. (2002). Umumnya penelitian mereka menghasilkan bahwa variabel backward-looking lebih memiliki pengaruh dibandingkan dengan forward-looking. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Gali dan Gertler (1999) di Amerika, Gali dkk. (2001) di Eropa, Sbordone (2002), dan Amato dan Gerlach (2000) menjelaskan bahwa varibel forward-looking memiliki pengaruh yang dominan dan mampu menjelaskan inflasi dinamis di Eropa dan Amerika. Hasil ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Insukindro dan Sahadewo (2010) di Indonesia.

Daftar Rujukan

Amato, J.D., Gerlach, S., 2000. Comparative Estimates of New Keynesian Phillips Curves, Working Paper, Bank of International Settlements.
Estrella, A., Fuhrer, J.C., 2002. Monetary policy shifts and the stability of monetary policy models. Review of Economics and Statistics 85 (1), 94– 104.
Friedman, Milton, 1968. “The Role of Monetary Policy,” American Economic Review, 58, 1-17.
Fuhrer, Jeffrey, 1997. “The (Un)Importance of Forward-Looking Behavior in Price Specifications,” Journal of Money, Credit, and Banking, 29, 338-350.
Gali, J., Gertler, M., Lo´ pez-Salido, J.D., 2001. European inflation dynamics. European Economic Review 45 (7), 1237–1270.
Gali, Jordi and Mark Gertler, 1999. “Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis,” Journal of Monetary Economics, 44, 195-222.
Hervino, D., 2011. Volatilitas Inflasi di Indonesia: Fiskal atau Moneter?. Jurnal Keuangan dan Perbankan Vol. 13 No. 2, pp. 139 – 148.
Insukindro dan Sahadewo, G. A., 2010. Inflation Dynamics in Indonesia: Equilibrium Correction and Forward-Looking Phillips Curve Approaches. Gadjah mada International Journal of Business, Vol. 12 No. 1, pp. 117 – 133.
Jondeau, E., and Bihan, H. L., 2004. Testing for the New Keynesian Phillips Curve, Additional international evidence. Elsevier, Economic Modelling 22 (2005) 521 – 550.
Lucas, Robert, 1972. “Expectations and the Neutrality of Money,” Journal of Economic Theory, 4, 103-124.
Pesaran, M. H. dan Y. Shin, 1999, “An Autoregressive Distributed Lag Modeling Approach to Cointegration Analysis,” in S. Strom (Ed.). Econometrics and Economic Theory in the 20th Century: The Ragnar Frisch Centennial Symposium.
Pesaran, M. H., Y. Shin and R. J. Smith, 2001, “Bounds Testing Approaches to the Analysis of Level Relationships,” Journal of Applied Econometrics, 16, pp. 289-326.
Phelps, Edmund, 1967. “Phillips Curves, Expectations of Inflation, and Optimal Inflation Over Time,” Economica, 135, 254-281.
Phillips, A.W., 1958. “The Relation between Unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rates in the United Kingdom, 1861-1957,” Economica, 25, 283-99.
Ramos, F. M and Torres, Alberta, 2008, “Inflation Dynamics in Mexico: A Characterization Using The New Phillips Curve,” North America Journal of Economics and Finance, 19, 274-289.
Roberts, J.M., 2001. How well does the new Keynesian sticky-price model fit the data? Federal Reserve Board, Finance and Economics Discussion Series, 2001– 2013.
Rudd, Jeremy and Karl Whelan, 2005. “New Tests of the New-Keynesian Phillips Curve,” Journal of Monetary Economics, 52, 1167-1181.
Samuelson, Paul and Robert Solow, 1960. “Analytical Aspects of Anti-Inflation Policy,” American Economic Review, 50, 177-94.
Sargent, Thomas, 1971. “A Note on the ‘Accelerationist’ Controversy,” Journal of Money, Credit, and Banking, 3, 721-725.
Sbordone, Argia, 2002. “Prices and Unit Labor Costs: A New Test of Price Stickiness,” Journal of Monetary Economics, 49(2), 265-292.
Soderlind, P., Soderstro¨m, U., Vredin. A., 2002. Can Calibrated New-Keynesian Models of Monetary Policy Fit the Data? Working Paper, Stockholm School of Economics.

Kompetisi dan Pengambilan Risiko dalam Industri Perbankan


Kompetisi dalam industri perbankan nasional sangatlah ketat, secara sederhana ini bisa dilihat dari semakin gencarnya bank menawarkan berbagai macam hadiah guna memperoleh sumber dana murah dari nasabah (berupa tabungan) yang akan digunakan dalam proses intermediasi—sebagai fungsi utama dari bank—guna memperoleh keuntungan. Faktor perubahan kondisi perekonomian baik pada sisi permintaan maupun penawaran membuat lembaga keuangan berusaha untuk selalu beradaptasi dengan cara melakukan berbagai inovasi yang nyatanya justru akan menurunkan tingkat profitabilitas ketika mereka hanya melakukan usaha perbankan tradisional (Mishkin, 2008:367).
Kondisi industri perbankan nasional secara umum dapat dibagi menjadi beberapa frame waktu, jika dikaitkan dengan adanya kejutan eksternal (external shock) berupa regulasi ataupun deregulasi yang diberlakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang memiliki imbas langsung bagi perkembangan industri perbankan nasional dan juga kompetisi diantara bank yang ada hingga saat ini.
Regulasi pertama yang menjadi awal liberalisasi sektor keuangan khususnya perbankan ketika pemerintah dan BI (belum independen) mengeluarkan paket kebijakan pada bulan Oktober 1988—yang lebih dikenal dengan pakto-88—yang secara umum mempermudah pendirian bank (penurunan modal minimum untuk mendirikan bank baru, dan mempermudah bank yang telah ada untuk membuka kantor cabang baru). Praktis pasca regulasi pakto-88 ini perkembangan industri perbankan begitu pesat, banyak bank baru bermunculan, hasilnya kompetisi memperebutkan dana murah menjadi semakin ketat lagi. Namun dampak dari regulasi tersebut membuat bank justru mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudential regulation) didalam pengelolaan dan penyaluran dana masyarakat.
Pada sekitar tahun 1995 hingga 1997 keluarlah deregulasi yang terkait dengan penerapan prinsip prudensial yang wajib dilaksanakan oleh perbankan nasional. Regulasi lainnya yang turut mewarnai dinamika perkembangan industri perbankan nasional seperti; (1) likuidasi, rekapitalisasi dan merjer sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997; (2) privatisasi perbankan tahun 2003; (3) Arsitektur Perbankan Indonesia tahun 2004, dan Single presence Policy dan Minimum Capital Requirement sekitar tahun 2004 hingga 2010 [Chua B. H. (2003) dan Bank Indonesia (2010) dalam Mulyaningsih dan Daly (2011)].
Regulasi yang ketat dan kondisi perekonomian yang dinamis memaksa perbankan untuk terus beradaptasi guna berkompetisi dalam berinvonasi guna mempertahankan tingkat profitabilitasnya, yang tidak jarang, perbankan justru mengambil risiko dalam setiap keputusan lending-nya.
Penelitian yang terkait antara kompetisi dan pengambilan risiko dalam industri perbankan telah banyak dilakukan diberbagai negara dengan hasil yang beragam pula. Hasil positif antara tingkat kompetisi dan pengambilan risiko dalam menyalurkan dana dalam industri perbankan diperoleh Hellman et. al. (2000) dan Repullo (2004) dalam Stanek (2012), Keeley (1990), dan Demzetz, Saidenberg, dan Strahan (1996).
Di sisi lain, hasil penelitian yang menjelaskan adanya hubungan negatif juga diperoleh Boyd dan De Nicolo (2005) dalam Stanek (2012). Untuk hasil yang beragam diperoleh dalam penelitian Boyd dan De Nicolo (2009) dimana ketika tingkat kompetisi dalam industri perbankan meningkat, maka probabilitas terjadinya bank failure dapat meningkat dan menurun. Penelitian di Indonesia juga dilakukan oleh Mulyaningsih dan Dale (2011), hasil penelitian ini secara umum kompetisi yang terjadi dalam industri perbankan nasional adalah monopolistik. Widyastuti dan Armanto (2013) menghasilkan bahwa kompetisi industri perbankan Indonesia memiliki kecenderungan monopoli dan atau oligopoli yang kolusif, dan dampak dari diperkenalkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) menurunkan tingkat kompetisi.

Daftar Rujukan

Allen, F. and D. Gale. 2004. Competition and Financial Stability. Journal of Money, Credit and Banking, 36, 453-480.
Bank Indonesia. 2010. Arsitektur Perbankan Indonesia. dikutip dari website: www.bi.go.id.
Boyd, J. H., and G. De Nicolò. 2005. The Theory of Bank Risk Taking and Competition Revisited. Journal of Finance, 60, 1329-1343.
Boyd, J. H., and G. De Nicolò. 2009. Bank Competition, Risk and Asset Allocations. IMF Working paper, 09/143, 2009.
Chua, H.B.. 2003. FDI in financial sector: the experience of ASEAN countries over the last decade, in CGFS (2004), the Central Bank paper submitted by Working Group members. Retrieved from website: www.bis.org/publ/cgfs22mas.pdf
Claessen, S., and Laeven, L.. 2004. What Drive Bank Competition? Some International Evidence. Journal of Money, Credit and Banking, vol. 36, pp. 563 – 583.
Demsetz, R.S., M. R. Saidenberg and P. E. Strahan. 1996. Banks with something to lose: The disciplinary role of franchise value. FRBNY Economic Policy Review, 1-14.
Hellmann, T. F., K. C. Murdock, and J. E. Stiglitz. 2000. Liberalization, Moral Hazard in Banking, and Prudential Regulation: Are Capital Requirements Enough? American Economic Review, 90, 147-165.
Keeley, M.C.. 1990. Deposit insurance, risk and market power in banking. American EconomicReview, 80, 1183-1200
Lutkepohl, H. and Kratzig, M.. 2004. Applied Time Series Econometrics. Cambridge University Press, New York.
Mishkin, F. S. 2008. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets 8th edition. Pearson Addison Wesley, Boston, America.
Repullo, R.. 2004 .Capital Requirements, Market Power, and Risk-Taking in Banking. Journal of Financial Intermediation, 13, 156-182.
Stanek, Rostislav. 2012. Competition dan Risk-taking in Banking Industry. Journal of Financial Assets and Investing, 1, 7-19.
Trimulyaningsih dan Daly, Anne., 2011. Competitive Conditions in banking Industry: An Empirical Analysis of The Consolidation, Competition, and Concentration in Indonesia Banking Industry Between 2011 and 2009. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, Oktober 2011, 151-185.
Widyastuti, Ratna Sri dan Armanto, Boedi, 2013. Kompetisi Industri Perbankan Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia, April 2013, 417-439.

Kamis, 24 Juni 2010

Fiscal Theory of the Price Level

"Disadur dari tulisan Carlstrom dan Fuerst, dan Bassetto"

Secara tradisional, fungsi utama bank sentral adalah mengontrol tingkat harga, yang tentunya fungsi ini memiliki implikasi terhadap teori ekonomi. Teori kuantitas (Milton Friedman) menyatakan bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Sedangkan menurut Robert Lucas (1996), kekayaan memiliki kaitan yang erat, mulai dari pergerakan harga hingga stok uang.

Analisis ini kemudian diuji oleh teori fiskal tentang tingkat harga (FTPL) yang menyatakan bahwa tingkat harga determined dari kebijakan anggaran pemerintah oleh otoritas fiskal. Menurut Bassetto, FTPL menjelaskan bahwa tingkat harga dihasilkan oleh utang pemerintah (government debt) dan kebijakan fiskal, dimana kebijakan moneter memiliki dampak tidak langsung. Kondisi ini bertentangan dengan kaum moneteris, dimana penawaran uang (money supply) merupakan penyebab utama terhadap tingkat harga dan inflasi.

FTPL menjelaskan bahwa tingkat harga selain dipengaruhi oleh utang pemerintah, juga dipengaruhi oleh penerimaan pajak saat ini dan akan datang, serta oleh rencana belanja pemerintah, dimama tanpa adanya direct reference terhadap kebijakan moneter.

FTPL ini memiliki dua bentuk atau bagian ketika mengkritik teori yang dikembangkan oleh Friedman dan Lucas, yaitu weak-form dan strong-form.

Weak-Form dari FTPL dimulai dari keterkaitan antara kebijakan moneter dan fiskal. Pada saat otoritas fiskal lebih dulu menentukan anggaran belanja (defisit atau surplus), lalu memaksa otoritas moneter untuk mencetak uang yang dibutuhkan untuk menjaga solvency (menghindari default). Sargent (1986) menggambarkan bahwa kondisi ini sebagai "game of chicken". Inflasi masih merupakan fenomena moneter.

Jika salah satu otoritas berkeberatan untuk menjalankan kebijakan pencetakan uang (seignorage), maka rasio utang terhadap GDP akan meningkat. Ini akan berimbas terhadap meningkatnya tingkat bunga ril atas utang pemerintah, sebagai hasil dari meningkatnya permintaan pasar dan premium yang harus dibayar.

Prediksi FTPL menjelaskan bahwa kebijakan fiskal sebagai penyebab terjadi inflasi yang akan datang. Jika ini benar maka ini hanya terjadi karena pertumbuhan uang dimasa mendatang, artinya tingkat harga masih dipengaruhi oleh pertembuhan uang saat ini dan akan datang.

Sargent dan Wallace's (1981) menjelaskan dengan contoh bahwa ketika terjadi tight money saat ini maka akan meningkatkan harga, ini terjadi karena adanya pertumbuhan uang di masa mendatang (inflasi akan datang meningkat). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa otoritas fiskallah yang mempengaruhi peredaran uang, atau kebijakan fiskal adalah eksogen dan pergerakan peredaran uang sebagai endogen.

Strong-Form dari FTPL menjelaskan bahwa kebijakan fiskal menghasilkan inflasi mendatang, dan tidak terkait dengan pertumbuhan peredaran uang.

Sabtu, 19 September 2009

Perilaku Penghindaran Risiko Kredit Oleh Perbankan dan Debitur Dalam Pasar Kredit Investasi Di Indonesia, Periode 1998-2008

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel-variabel ekonomi yang mempengaruhi perilaku penghindaran risiko kredit yang dilakukan baik oleh perbankan dan debitur; menganalisis dampak deregulasi perbankan terhadap perilaku penghindaran risiko kredit; dan menganalisis berapa lama waktu yang diperlukan bagi masing-masing variabel penjelas untuk dapat mempengaruhi variabel tidak bebasnya.

Analisis dalam pasar kredit investasi tentunya terkait dengan permasalahan infomasi yang asimetris dan keputusan antar waktu bagi setiap pelaku pasar. Dengan menggunakan data runtut waktu periode 1998(1) hingga 2008(8) dan tidak terinterasinya seluruh variabel penelitian pada level yang sama, maka peneliti menggunakan model jangka pendek Autoregressive Distributed Lag Error Correction Model (ARDL-ECM) untuk menjelaskan perilaku penghindaran risiko kredit oleh perbankan dan debitur dalam pasar kredit investasi di Indonesia.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa dalam jangka pendek dan panjang, suku bunga kredit investasi rupiah riil, harapan suku bunga kredit investasi rupiah riil, dan tingkat inflasi mempengaruhi perilaku penghindaran risiko kredit oleh perbankan. Pada sisi debitur, perilaku ini tidak sensitif terhadap suku bunga kredit investasi rupiah riil. Namun, sangat dipengaruhi oleh suku bunga modal kerja rupiah riil sebagai variabel substitusi dari kredit investasi rupiah riil dan harapan pendapatan nasional riil mendatang dalam jangka panjang. Hadirnya deregulasi perbankan membuat bank berperilaku penghindaran risiko kredit sedangkan debitur tidak. Debitur rata-rata memerlukan waktu selama 24 hari untuk merespon realisasi kreditnya ketika terjadi perubahan dalam variabel penjelas, sedangkan perbankan memerlukan waktu selama 56 hari.

Kata-kata kunci
:
pasar kredit investasi, penghindaran risiko kredit, informasi yang asimetris, moral hazard, adverse selection, perubahan struktur, mean-lag, model dinamik, dan ARDL-ECM.

Rabu, 06 Mei 2009

Disfungsi Transmisi dan Intermediasi Perbankan

Kemarin (kompas 5/5/2009) BI menurunkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7.25 persen. Namun, kondisi ini tidak direspon positif oleh bank umum untuk menurunkan suku bunga pinjaman/kredit. Menurut beberapa penelitian, diperlukan proses penyesuaian selama 3 hingga 4 bulan bagi bank umum untuk merespon penurunan BI rate tersebut. Seolah-olah respon bank umum jika terjadi penurunan Bi rate adalah inelastis, lain halnya jika BI rate mengalami peningkatan, yang langsung direspon positif oleh bank umum (proses penyesuaiannya lebih singkat).

Apa sebenarnya yang terjadi dari fenomena ini? Bank saat ini tidak hanya sebagai lembaga transmisi dan lembaga intermediasi, tetapi juga menjalankan peran layak perusahaan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh laba. Kenapa bank cenderung lama merespon penurunan Bi rate dan cepat merespon naiknya BI rate? Jawabanya sederhana, yaitu salah satu penerimaan (laba) bank adalah dari selisih suku bunga tabungan dan suku bunga kredit (Net Interest Margin-NIM), sumber dana murah perbankan adalah berasal dari tabungan masyarakat, sedangkan sumber penerimaan terbesar bank adalah dari suku bunga kredit.

Ketika BI rate turun dan bank merespon cepat dengan menurunkan suku bunga kredit, maka bank akan kehilangan pendapatan potensial dari NIM karena spread-nya mengecil, sehingga prilaku bank dengan menunda penurunan suku bunga-nya sesungguhnya didasarkan atas ketidakmauan bank untuk kehilangkan pendapatan potensialnya. Pada saat kondisi ini terjadi, sesungguhnya fungsi perbankan sebagai lembaga transmisi adalah gagal, karena maksud dari BI menurunkan BI rate adalah untuk menstimulasi kegiatan perekonomian agar dapat dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kompas hari ini (6/5/2009) memberitakan bahwa ketua The Fed, Ben Bernanke memperediksikan bahwa resesi yang terjadi di Amerka Serikat akan berakhir di tahun ini karena perekonomian AS akan tumbuh tahun ini, meskipun masih akan terjadi pengangguran. Prediksi yang optimis ini sangat cepat di respon oleh BI dengan menurunkan BI rate, akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan bank umum, sehingga mekanisme transmisi tidak dapat bekerja dengan baik.

Kondisi yang paling parah akan terjadi adalah kita terlambat untuk memanfaatkan momentum ini untuk menggenjot produksi sektor ril yang berorientasi ekspor ke AS. Seperti yang telah kita ketahui semua, resesi yang terjadi di AS membuat sektor ekspor kita ke negara mereka begitu terpukul. Ketika kondisi perekonomian Amerika diprediksi membaik maka ada harapan untuk memulihkan sektor ekpsor sehingga dapat memperkuat cadangan devisa.

Secara sederhana : suku bunga kredit turun --> sektor ril bekerja --> sektor input juga bekerja --> pengangguran berkurang --> eskpor naik --> pendapatan nasional naik --> pertumbuhan ekonomi naik --> cadangan devisa naik

Momentum perbaikan ekonomi kita saat ini telah terlihat, dari menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan naiknya IHSG sebagai barometer kondisi sektor ril di Indonesia.

Namun yang patut diperhatikan adalah keengganan bank untuk menyalurkan kredit ketika suku bunga acuan sudah pada kondisi terendah, artinya bank akan cenderung untuk meningkatkan penempatan aset produktifnya dalam pos selain kredit (penempatan dalam BI, surat berharga, dan antar bank aktiva) yang memiliki tingkat risiko gagal bayar yang lebih rendah, dibandingkan dengan pos kredit karena penyalurkan kredit dengan tingkat bunga yang rendah membuat pendapatan laba usaha bank semakin mengecil sedangkan risiko gagal bayar adalah tetap (lemons problem). Kondisi ini dikenal dengan prilaku penghindaran risiko (risk aversion) kredit oleh bank.

Jika ini yang terus terjadi maka fungsi lembaga transmisi dan intermediasi perbankan akan mati dan kita akan kehilangan momentum perbaikan kondisi perekonomian nasional.

Jumat, 21 November 2008

Analisis Kebijakan Pembangunan Sektor Pertanian (Beras) Di Indonesia

Aloysius Deno Hervino∗ dan Joko Sulistio∗∗
Magister Sains Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta

ABSTRAKSI
Sektor pertanian merupakan sektor yang harus mendapat perhatian khusus karena mayoritas penduduk Indonesia adalah tinggal dipedesaan dengan profesi sebagai petani. Selain itu industri yang harus dikembangkan adalah industri yang berbasis pada sektor pertanian. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, lahan semakin berkurang, biaya produksi tinggi, produksi berkurang, dan harga jual gabahpun rendah, sehingga selain tingkat kesejahteraan petani menjadi hampa belaka karena petani saat ini lebih banyak sebagai buruh tani juga ketahanan pangan nasional menjadi jauh dari kenyataan. Segala kebijakan yang pernah dibuat dan dilaksanakan pemerintah belum juga berpihak secara penuh pada sektor pertanian seperti liberalisasi pasar pertanian, impor beras, perkembangan sektor industri yang mengkisis sektor pertanian, dan kinerja lembaga-lembaga terkait yang tidak efektif dan efisien. Untuk itulah perlu suatu kebijakan menyeluruh dan komprehensif guna mengangkat kesejahteraan sebagain besar penduduk Indonesia seperti perbaikan infrastruktur yang terkait, land reform policy agar petani tidak lagi hanya menjadi buruh tani, perbaikan mekanisme subsidi pupuk, dan tentunya perluasan lahan pertanian agar mampu meningkatkan produksi sehingga ketahanan pangan dan kesejahteraan petani menjadi kenyataan.

Kata Kunci : Kebijakan sektor pertanian, Kebijakan agraria, Kebijakan subsidi pupuk, Land reform, Ketahanan pangan, Undang-Undang Pokok Agraria, dan Liberalisasi pertanian.

Dumping

Pengertian Dumping

Dumping adalah pemberlakuan harga lebih rendah terhadap barang-barang ekspor yang dijual kepada negara pengimpor, dibandingkan dengan harga normal yang diberlakukan di pasaran domestik (negara pengekspor). Sedangkan barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor.

Perdagangan Internasional mendefinisikan dumping sebagai penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga.

Sementara itu menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, di mana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut.

Sedangkan menurut Kamus Hukum Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksporir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.

Menurut Robert Willig, terdapat lima tipe dumping jika ditinjau berdasarkan tujuan eksporir, kekuaran pasar dan struktur pasar impor, sebagai berikut. (1) Market Ekspansion Dumping, perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah. (2) Cyclical Dumping, motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang sangat rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait. (3) State Trading Dumping, latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya. (4) Strategic Dumping, ini menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. (5) Predatory Dumping, istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.

Sedangkan apabila ditinjau berdasarkan motive of dumper dan the continuity of his dumping, menurut Viner, dumping ada tiga bentuk, yaitu pertama, sporadic dumping, merupakan dumping yang bersifat tidak tetap. Kedua, dumping as intermitent, bersifat tidak tetap, tidak berkesinambungan, dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Bentuk pertama dan kedua merupakan bentuk wajar sebagai reaksi atau gejala pemasaran yang bersifat umum. Ketiga, dumping as persistent, bersifat tetap dan terus menerus, yang berarti merupakan dumping bentuk merugikan dan mengandung unsur dan bersifat sengaja dan direncanakan untuk merebut pangsa pasar produsen barang sejenis negara tuan rumah.

Motif dan Dampak Melakukan Dumping

Dumping merupakan salah satu dari strategi dalam merebut persaingan pasar luar negeri yaitu dengan cara diskriminasi harga. Diskriminasi harga, menurut Ida Bagus Wyasa Putra, ada tiga alasan yaitu pertama, untuk mengembangkan pasar, dengan cara memberikan insentif melalui pemberlakukan harga yang lebih rendah kepada pembeli pasar yang dituju. Kedua, adanya peluang, pada kondisi pasar yang memungkinkan penentuan harga secara lebih leluasa, baik di dalam pasar ekspor maupun impor. Ketiga, untuk mempersiapkan kesempatan bersaing dan pertumbuhan jangka panjang yang lebih baik dengan cara memanfaatkan strategi penetapan harga yang lebih baik dan progresif.

Umumnya motif suatu negara pengekspor yang melakukan dumping adalah merebut pangsa pasar bagi produknya di negara-negara tujuan ekspor. Ketika harga barang yang diekspor lebih rendah dari harga barang yang sama di negara tujuan ekspor maka tentunya ini akan menguntungkan negara pengeskpor karena secara rasional produknya akan digemari di negara luar negeri dan ini akan memberikan multiplier yang positif dan besar bagi perekonomian negara pengekspor.

Namun praktek dumping merupakan praktek perdagangan yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri. Dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang di dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.

Praktek Anti Dumping

Karena dampak negatif bagi negara pengimpor dari praktek dumping yang dilakukan oleh negara pengekspor terhadap jenis barang yang sama, maka dibutuhkan aturan dan pembatas serta pengendali terhadap praktek dumping tersebut. Aturan mengenai larangan dumping (peraturan anti dumping) bertujuan memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan ekportir atau produsen luar negeri.

Praktek dumping dapat dikenakan tindakan anti dumping bila merugikan industri atau produsen negara pengimpor. Hukuman bagi negara yang terbukti melakukan praktek dumping dan merugikan industri atau produsen dalam negeri akan dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping (selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir) yang ditemukan, guna mengeliminir kerugian dari barang dumping sehingga industri dalam negeri tetap terlindungi dan dapat tetap bersaing dengan barang impor.

Pengenaan BMAD tentunya melalui beberapa tahap proses penyelidikan. Ketika lembaga pemerintahan (komite anti dumping) yang terkait menerima laporan dari produsen bahwa terdapat dumping atas barang yang diimpor tersebut maka komite tersebut barulah bisa memulai proses penyelidikan praktek dumping negara pengekspor tersebut. Untuk mencegah kerugian selama melakukan penyelidikan, komite dapat mengusulkan kepada departemen terkait untuk melakukan tindakan sementara seperti tindakan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Imbalan Sementara (BMADS).
Pengenaan BMADS ditetapkan oleh menteri keuangan berupa pembayaran jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari perusahaan asuransi paling besar sama dengan BMAD.
Selama proses penyelidikan dan terbukti negara pengeskpor melakukan praktek dumping maka pengekspor atau negara pengekspor harus melakukan tindakan penyesuaian berupa penyesuaian harga atau penghentian ekspor barang tersebut, atau lainnya. Tujuan dari tindakan penyesuaian tersebut adalah untuk menghilangkan kerugian industri di negara pengimpor. Namun jika negara pengekspor terbukti melakukan dumping dan tidak melakukan penyesuaian harga dari produsen negara pengekspor, maka BMAD akan dikenakan sebesar marjin dumping terhadap barang tersebut.

Kenapa Praktek Dumping Masih Terjadi?

Ada beberapa pendapat kenapa praktek dumping masih terjadi meskipun saat ini dibanyak negara telah memiliki Undang-Undang Anti Dumping. Ketika suatu negara memutuskan untuk menjual produknya ke luar negeri (lebih dari satu negara) lebih murah dari di dalam negeri, maka:

  • Ketika negara tujuan ekspor tidak memproduksi barang yang sejenis dan tidak juga terdapat barang yang sama dari negara lain maka kehadiran barang dumping tidaklah menjadi masalah baik bagi produsen atau industri negara tersebut dan juga bagi masyarakatnya. Jika kondisi ini terjadi maka praktek dumping dapat terus berjalan di negara tersebut.
  • Ketika negara pengimpor tidak memiliki industri atau produsen barang yang sejenis dengan barang dumping dari negara A, namun di negara tersebut terdapat barang impor dari negara B yang sama, maka pada saat barang dumping tersebut diperkenalkan kepada masyarakat suatu negara melalui media promosi, tentunya tingkat penjualan barang tersebut akan meningkat karena ini sangat menguntungkan masyarakat tersebut. Mereka dapat konsumsi dengan harga yang lebih murah dan akan cepat mengalihkan konsumsi ke barang tersebut (besarnya terkait dengan elastisitas permintaan barang tersebut) . Ketika fungsi permintaan akan barang tersebut sangat elastis maka pada saat masuknya barang impor sejenis dengan harga yang lebih murah maka konsumen akan beralih pada barang yang lebih murah sehingga negara A akan untungkan dan negara B akan dirugikan. Melihat kondisi ini negara B akan melaporkan terjadi praktek dumping negara A ke departemen terkait di negara tersebut. Penyelidikan praktek dumping ini memerlukan waktu untuk membuktikannya, namun barang dumping tersebut masih boleh beredar di masyarakat sehingga ini membentuk citra barang tersebut dalam pola konsumsi masyarakat. Ketika terbukti negara A melakukan praktek dumping maka barang dumping tersebut terkena bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping. Ini membuat barang tersebut indiferen dengan barang dari negara B. Karena citra barang tersebut sudah melekat dalam pola konsumsi masyarakat walaupun harganya akan sama, maka barang dumping tersebut tetap laku di negara tujuan ekspor. Bagi negara A (dumping) kondisi ini tetap menguntungkan baik sebelum maupun sesudah dikenakan BMAD, karena barangnya tetap diminati, sehingga praktek dumping akan tetap dilakukan. Keuntungan ini akan dapat diperoleh bahkan dapat meningkat ketika kualitas barang dumping lebih baik dari barang lainnya. Hal yang sama juga terjadi ketika di negara tujuan ekspor memiliki industri atau produsen barang sejenis dengan barang dumping.
  • Ketika terdapat industri sejenis di negara pengimpor dan juga terdapat barang impor yang sama dari negara B dan hadirnya barang dumping oleh negara A tidak merugikan industri negara tersebut dan negara B maka produk dumping masih boleh diedarkan di negara tersebut.

Kenapa Amerika tidak memusuhi Jepang yang melakukan praktek dumping? Ini terjadi karena Amerika diuntungkan dengan adanya barang dumping dari Jepang. Selain Amerika tidak memiliki industri yang menghasilkan barang sejenis seperti Jepang, juga tindakan yang hanya memberlakukan BMAD terhadap produk Jepang oleh Amerika berguna agar barang dumping Jepang akan bertarung dengan barang sejenis yang diekspor oleh negara lain ke Amerika. Sehingga jika ini terjadi maka yang diuntungkan justru masyarakat (konsumen) Amerika karena memperoleh barang konsumsinya dengan lebih murah.

Simpulan

Praktek dumping masih terus berlangsung karena tidak terdapat aturan yang benar-benar melarang (tidak memperbolehkan) praktek tersebut. Undang-Undang anti dumping hanya memuat pengenaan bea masuk anti dumping jika terbukti negara tersebut melakukan praktek dumping. Pengenaan BMAD ini tentunya setelah melalui proses penyelidikan dan terbukti adanya barang dumping tersebut merugikan industri atau produsen dalam negeri dan negara pengekspor lain.

Dengan tidak adanya UU yang melarang praktek dumping, kondisi ini akan menguntungkan negara atau produsen yang melakukan praktek dumping. Keuntungan yang diperoleh negara pengekspor tersebut mulai dari barang tersebut diperkenalkan, proses penyelidikan dugaan melakukan praktek dumping, dan ketika sudah ditetapkan melakukan praktek dumping.

Selain itu pada saat negara pengekspor tersebut terbukti melakukan praktek dumping maka terhadap barang dumping tersebut dikenakan BMAD sebesar marjin dumping tersebut sehingga harga barang dumping dengan barang sejenis lainnya menjadi sama. Namun karena barang dumping telah dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat maka pilihan masyarakat mungkin akan berubah sedikit namun barang dumping tersebut akan tetap laku.

Jadi suatu negara tetap akan melakukan praktek dumping karena selain tidak adanya UU yang benar-benar melarang praktek dumping (proteksi terhadap produk lokal) tersebut juga pengenaan BMAD sebesar marjin dumping tetap menguntungkan bagi negara pelaku dumping. Kondisi inilah yang membuat suatu negara tetap akan melakukan praktek dumping.


Daftar Rujukan

Berita Antara, 2007.”Mendag Minta Industri Lebih Proaktif Laporkan Kasus Dumping”
http://www.antara.co.id/arc/2007/3/28/mendag-minta-industri-lebih-proaktif-laporkan-kasus-dumping/
Chinadaily, 2006.”Dumping-Anti-Dumping”
http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/2006-10/09/content_704098.htm
Gayatri, A., dan Femita, A., 2008.”Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan Indonesia” Universitas Padjajaran, Bandung.
Komite Anti Dumping Indonesia.”Dumping”.
Miljani, H., 2008.”Implementasi Kebijakan Anti Dumping dan Subsidi Serta Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha” Forum Studi Bisnis FH Universitas Airlangga, Surabaya.
Suryana, D., 2006. “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia”
http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan_2.
Wikipedia, 2006. “Dumping (Price Policy)”
http://en.wikipedia.org/wiki/Dumping_(pricing_policy).